PERKEMBANGAN GAHARU DAN PROSPEKNYA
DI INDONESIA
A. Perkembangan
Gaharu Di Indonesia
Gaharu adalah salah satu komoditas
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) komersial yang bernilai jual tinggi. Bentuk
produk gaharu yang merupakan hasil alami dari kawasan hutan yang dapat berupa
cacahan, gumpalan atau bubuk. Nilai komersial gaharu sangat ditentukan oleh
keharuman yang dapat diketahui melalui warna serta aroma kayu bila dibakar,
masyarakat mengenal kelas dan kualita dengan nama gubal, kemedangan dan bubuk.
Selain dalam bentuk bahan mentah berupa serpihan kayu, saat ini melalui proses
penyulingan dapat diperoleh minyak atsiri gaharu yang juga bernilai jual
tinggi.
Kata “gaharu” sendiri ada yang
mengatakan berasal dari bahasa Melayu yang artinya “harum” ada juga yang bilang
berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat
(tenggelam) sebagai produk damar, atau resin dengan aroma, keharuman yang khas.
Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara pembakaran
(fumigasi) dan pada upacara ritual keagamaan. Gaharu dengan naloewood”,
merupakan substansi aromatik (aromatic resin) berupa gumpalan atau padatan
berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam
dari kayu tertentu yang sudah dikenal sejak abad ke-7 di wilayah Assam India
yang berasal dari jenis Aqularia agaloccha rotb, digunakan terbatas sebagai
bahan pengharum dengan melalui cara fumigasi (pembakaran). Namun, saat ini
diketahui gaharupun dapat diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili
Thymeleaceae, Leguminaceae, dan Euphorbiaceae yang dapat dijumpai di wilayah
hutan Cina, daratan Indochina (Myanmar dan Thailand), malay Peninsula
(Malaysia, Bruinai Darussalam, dasn Filipina), serta Indonesia (Sumatera,
Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, maluku, Mataram dan beberapa
daerah lainnya).
Di Indonesia gaharu mulai dikenal
sejak tahun 1200-an yang ditunjukkan oleh adanya pertukaran (barter)
perdagangan antara masyarakat “Palembang dan Pontianak” dengan masyarakat Kwang
Tung di daratan China.
Menurut I.H. Burkill, perdagangan
gaharu Indonesia sudah dikenal sejak lebih dari 600 tahun yang silam, yakni
dalam perdagangan Pemerintah Hindia Belanda dan Portugia. Gaharu dari Indonesia
banyak yang dikirim ke Negara Cina, Taiwan dan Saudi Arabia (Timur Tengah).
Tapi karena adanya permintaan yang cukup tinggi dari luar negeri terhadap
gaharu tersebut terutama dari jenis Aquilaria malacensis, menyebabkan perburuan
gaharu semakin meningkat dan tidak terkendali di Indonesia. Padahal kita
ketahui bahwa tidak semua pohon gaharu bisa menghasilkan gubal gaharu yang
bernilai jual yang tinggi. Ini dikarenakan minimnya pengetahuan para pemburu
gaharu sehingga melakukan penebangan secara sembarangan tanpa diikuti upaya
penanaman kembali (budidaya). Akhirnya akibat yang ditimbulkan populasi pohon
penghasil gaharu makin menurun.
Potensi produksi gaharu yang ada
di Indonesia berasal dari jenis pohon Aquilaria malacenis, A. filarial, A.
birta, A. agalloccba Roxb, A. macrophylum, Aetoxylon sympetalum, Gonystylus
bancanus, G. macropbyllus, Enkleia malacensis, Wikstroemia androsaemofolia, W.
tenuriamis, Gyrinops cumingiana, Dalbergia parvifolia, dan Excoccaria
agalloccb). Dari banyaknya jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil gaharu
tersebut, hanya satu diketahui penghasil gaharu yang berkualitas terbaik dan
mempunyai nilai jual yang tinggi dibanding dengan pohon lainnya yaitu Aquilaria
malacensis. Karena dampak tingginya nilai jual terhadap jenis komersial
menjadikan perburuan terhadap Aquilaria malacensis sangat tinggi, sehingga
sesuai Konvensi CITES (Convention On International Trade in Endangered Species
of Wild Fauna and Flora) Nopember 1994 di Florida, Amerika Serikat, memasudkan jenis
penghasil gaharu ini dalam kelompok Apendix II CITES.
Puncaknya perdagangan ekspor
gaharu di Indonesia berlangsung antara tahun 1918 – 1925 dan pada masa
penjajahan Hindia Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah
kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat, bahkan tujuan ekspornya tidak hanya
ke daratan Cina, tapi juga sampai ke Korea, Jepang , Amerika Serikat dan
sebagian Negara-negara Timur Tengah dengan permintaan tidak terbatas.
B. Gambaran Umum Gaharu
Gaharu adalah salah satu produk hasil
hutan elite dalam bentuk gumpalan, cacahan, serpihan atau bubuk yang memiliki
kualifikasi produksi yang terdiri kelas GUBAL, KEMEDANGAN DAN BUBUK/ABU, di
dalamnya masing-masing produk terkandung “oleo resin” dan “chromoe” yang
menghasilkan bau atau aroma khas, dalam perdagangan dikenal sebagai “agarwood,
englewoo atau aloewood”.
Indonesia telah sejak lama dikenal
dunia sebagai penghasil gaharu terbesar, tingginya produksi secara biologis
didukung oleh potensi jenis dengan penyebaran jenis pohon penghasil gaharu yang
hamper dijumpai di berbagai wilayah hutan. Semetara itu dikenal berasal dari
family (keluarga) Thymeleaceae, Leguminoceae dan Euphorbiaceae.
Sebelumnya, ekspor gaharu dari
Indonesia sempat tercatat lebih dari 100 ton pada tahun 1985. Menurut laporan
Harian Suara Pembaharuan (12 Januari 2003), pada periode 1990 – 1998, tercatat
volume eksspor gaharu mencapai 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000.Lalu, pada
periode 1999 – 2000 meningkat menjadi 456 ton dengan nilai US $ 2.200.000. Ini
membuktikan bahwa pasar gaharu terus meningkat. Namun sejak akhir tahun 2000
samapai akhir tahun 2002, angka ekspor telihat mengalami penurunan yaitu
sekitar 30 ton dengan nilai US $ 600.000. Disebabkan makin sulitnya gaharu
didapatkan dan memang tidak semua pohon penghasil gaharu menghasilkan gubal
gaharu. Selain itu, pohon yang bisa didapatka di hutan alam pun semakin sedikit
yang diakibatkan penebangan hutan secara liar dan tidak terkendali serta tidak
adanya upaya pelestarian setelah pohon tersebut ditebang.
Syukurlah, pada tahun 1994/1995
mulai dirintis usaha pembudidayaan gaharu di Propinsi Riau, sebuah perusahaan
pengekspor gaharu, PT. Budidaya Perkasa telah menanam Aquilaria malaccensis
seluas lebih dari 10 hektar. Selain itu Dinas Kehutanan Riau juga menanam jenis
yang sama dengan luas 10 hektar di Taman Hutan Raya Syarif Hasyim.
Selanjutnya pada tahun 2001-2002
beberapa individu atau kelompok tani mulai tertarik juga untuk menanam jenis
pohon penghasil gaharu. Contohnya, uasaha yang dilakukan oleh para petani di
Desa Pulau Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, Jambi, yang menanam
gaharu dari jenis Aquilaria malacensiss. Di Desa tersebut, samapi akhir tahun
2002 terdapat sekitar 116 petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Penghijauan
Indah Jaya telah mengembangkan lebih dari seratus ribu bibit gaharu. Adapun
Litbang Kehutanan mempunyai lahan percobaan di daerah Labuhan (Banten).
Kemudian Universitas Mataram juga telah mengembangkan tanaman jenis Gyrinops
Verstegii.
Meski hasil yang didapat belum
diketahui secara pasti, usaha ini merupakan suuatu langkah yang patut didukung
oleh semua pihak.
C. Kandungan dan Manfaat Gaharu
Dari hasil analisis kimia di
laboratorium, gaharu memiliki enam komponen utama yaitu furanoid sesquiterpene
diantaranya berupa a-agarofuran, b-agarofuran dan agarospirol. Selain furanoid
sesquiterpene, gaharu yang dihasilkan dari jenis Aquilaria malaccensis asal
Kalimantan pun ditemukan pokok minyak gaharu yang berupa cbromone. Cbromone ini
menghasilkan bau yang sangat harum dari gaharu apabila dibakar. Sementara itu
komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa sequiterpenoida,
eudesmana, dan valencana.
Pemanfaatan gaharu sampai saat ini masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan,
cacahan, bubuk,atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu
tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Disamping itu, gaharu pun
mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan
keharuman yang khas. Makanya dari aromanya itu yang sangat popular bahkan
sangat disukai oleh Negara-negara lain khususnya masyarakat Timur Tengah, Saudi
Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga
dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa,
dan pengawet berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan relijius
gaharu sudah lama diakrabi bagi pemeluk agama Islam, Budha, dan Hindu.
Dengan seiringnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya berguna sebagai
bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat
dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Raintree(1996), gaharu bisa dipakai sebagai
obat anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan. Dalam
khasana etnobotani di Cina, digunakan sebagai obat sakit perut, perangsang
nafsu birahi, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, ginjal tumor
paru-paru dan lain-lain. Di Eropa, gaharu ini kabarnya diperuntukkan sebagai
obat kanker. Di India, gaharu juga dipakai sebagai obat tumor usus.
Di samping itu di beberapa Negara
seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat sudah mengembangkan
gaharu ini sebagai obat-obatan seperti penghilang stress, gangguan ginjal,
sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa. Bahkan
Asoasiasi Eksportir Gaharu Indonesia (ASGARIN) melaporkan bahwa Negara-negara
di Eropa dan India sudah memanfaatkan gaharu tersebut untuk pengobatan tumor
dan kanker. Di Papua, gaharu sudah dgunakan secara tradisional oleh masyarakat
setempat untuk pengobatan. Mereka mengggunakan bagian-bagian dari pohon
penghasil gaharu (daun, kulit batang, dan akar) digunakan sebagai bahan
pengobatan malaria. Sementara air sulingang (limbah dari proses destilasi
gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri) yang sangat bermanfaat untuk merawat
wajah dan menghaluskan kulit.
D. Prospek Gaharu Di Indonesia
Kebutuhan akan ekspor gaharu di
Indonesia memang semakin meningkat sampai tahun 2000. Namun, sejak saat itu
hingga akhir tahun 2002 produksi gaharu semakin menurun dan rata-rata hanya
mencapai sekitar 45 ton/tahun. Hal tersebut diduga disebabkan oleh intensitas
pemungutan yang relatif tinggi khususnya dari jenis penghasil gaharu yang
mempunyai kualitas dan nilai jual yang tinggi hingga tahun 2000 tanpa dibarengi
adanya upaya pelestarian dan pembudidayaan. Sehingga mengakibatkan sangat
minimnya tanaman yang dapat menghasilkan gaharu. Agar kesinambungan akan
produksi gaharu di masa akan datang yang mempunyai kualitas dan nilai jual
tinggi tetap terbina serta tidak tergantung pada hutan alam diperlukan adanya
pembudidayaan yang optimal di beberapa daerah endemik dan disesuaikan dengan
tempat tumbuh dari jenis penghasil gaharu tersebut.
Dengan memperhatikan
kuota permintaan pasar akan komoditas gaharu yang terus meningkat maka pembudidayaan
gaharu pun memiliki prospek yang cukup tinggi dalam upaya untuk mempersiapkan
era perdagangan bebas di massa mendatang. Di lihat dari tahun 2000, kuota
permintaan pasar sekitar 300 ton/tahun. Namun hingga tahun 2002, yang baru bisa
drealisasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar, hanya sekitar 10% - 20% saja.
Khuaus untuk jenis Aquilaria malaccensis yang mempunyai kualitas dan bernilai
jual yang tinggi, usaha pembudidayaannya pun berpeluang menurunkan tingkat
kelangkaan.